KULIAH MURAH SE-BANDUNG RAYA

KULIAH MURAH SE-BANDUNG RAYA
BIAYA SPP 350.000 PER BULAN

Keywords / Kata Kunci:

Jumat, 24 Oktober 2008

TUGAS I KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

TUGA I
KEBIJAKAN FISKAL DAN MONETER

BUAT SEBUAH ARTIKEL TENTANG LATAR BELAKANG TERJADINYA KRISIS MONETER GLOBAL SAAT INI.

14 komentar:

Anonim mengatakan...

Latar belakang terjadinya krisis global saat ini penyebabnya adalah:1.Naiknya harga minyak mentah dunia yang pada bulan agustus mencapai US$130 perbarel yang secara otomatis ikut mempengaruhi kenerja senua perusahaan di dunia; 2.Buruknya kinerja bursa efek di do jones dan nasdaq di USA yang secara otomatis mempengaruhi kinerja bursa efek di asia(hanseng,jakarta,tokyo dll)yang secara signifikan telah menghancurkan perusahaan kecil bahkan yg raksasa pun ikut ambruk/gulung tikar.
3.Sangat tergantungnya masyarakat dunia akan USA,dimana jika amerika goyah otomatis semua kinerja di perusahaan manapun di dunai jg akan goyah.contoh negara yang tidak bergantung"iraq".irak tidak goyah sedikitpun ketika USA goncang.
(ADIE KUSUMA ATMAJA/MANAJEMEN/SEMESTER 7/KELAS KHUSUS)

Anonim mengatakan...

Ahmad syafi'i
Smester 7
Kelas karyawan& khusus

Penyebab terjadinya krisis global pada saat ini yang paling utama adalah terjadi krisis keuangan di Amerika Serikat,dimana terjadinya kebangkrutan perusahan bank terbesar di amerika yang disebabkan tidak sanggup untuk membayar utang- utangnya, dengan itu pemerintahan amerika menarik uangnya kembali akhirnya negara yang menggunakan dolar atau yang bergantung kepada amerika terkena dampak krisis tersebut, penyebab lainnya anjloknya bursa saham Amerika yang berpengaruh terhadap penawaran dan pembelian.

Anonim mengatakan...

KRISIS moneter Indonesia disebabkan oleh dan berawal dari kebijakan Pemerintah Thailand di bulan Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand “Bath” terhadap Dollar US. Selama itu mata uang Bath dan Dollar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap. Devaluasi mendadak dari “Bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata-mata uang Negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini.

Indonesia, yang mengikuti sistim mengambang terkendali, pada awalnya bertahan dengan memperluas “band” pengendalian/intervensi, namun di medio bulan Agustus 1997 itu terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistim “band” tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Dalam bulan September/Oktober 1997, Rupiah telah terdevaluasi dengan 30% sejak bulan Juli 1997. Dan di bulan Juli 1998 dalam setahun, Rupiah sudah terdevaluasi dengan 90%, diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Di tahun 1998, pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% di tahun sebelumnya (1997). Atau jatuh dengan 18,6% dalam setahun.

Sampai sekarang, sudah lima tahun, pemulihan pertumbuhan ekonomi belum mencapai tingkat pra-krisis (tahun 1996/97).

oleh : Auliya Rahman/khusus/manajemen

Anonim mengatakan...

Krisis yang melanda bangsa Indonesia, menjadi awal terpuruknya sebuah negara dengan kekayaan alam yang melimpah ini. Dari awal 1998, sejak era orde baru mulai terlihat kebusukannya Indonesia terus mengalami kemerosotan, terutama dalam bidang ekonomi. Nilai tukar semakin melemah, inflasi tak terkendali, juga pertumbuhan ekonomi yang kurang berkembang di negara ini.

Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 milyar dolar, dan sektor bank yang baik.

Tapi banyak perusahaan Indonesia banyak meminjam dolar AS. Di tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut — level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.

Oleh : Gemoren Daimutu/khusus 7/Manajemen.

Anonim mengatakan...

Gejolak moneter di AS dan mengguncang dunia merupakan konsekuensi logis sistem perekonomian ”pasar bebas” dan ideologi (neo)liberalisme. Sistem pasar bebas dengan minimalisme pengendalian negara setidaknya menghasilkan empat watak kultural ekonomi: 1) orbital, berupa perputaran ekonomi moneter yang mengglobal; 2) virtual, dengan sektor moneter yang bersifat maya; 3) viral, dengan penjalaran efek ekonomi yang cepat bak virus; dan 4) banal, dengan sistem ekonomi yang merayakan konsumerisme remeh-temeh.

Jean Baudrillard dalam Fatal Strategies (1990) menggambarkan kondisi kultural ekonomi macam itu melalui metafora kosmologi ”orbit” (orbital). Sistem moneter layaknya sebuah orbit, yaitu garis edar mata uang yang berputar mengelilingi ”sektor riil” sebagai titik pusat orbit, tetapi terpisah darinya. Bisnis keuangan berlangsung di sektor moneter, tanpa bersentuhan dengan sektor riil. Triliunan dollar AS diperjualbelikan dan dipermainkan di pasar modal, tetapi hanya sebagian di antaranya diputar di sektor riil.

Dalam sistem ekonomi itu, peran mata uang terlalu besar, mendeterminasi fluktuasi ekonomi. Sementara sistem moneter sendiri kini bersifat virtual, dengan sistem virtual money dan perputaran kian cepat dan real time. Hazel Henderson dalam Paradigms in Progress: Life Beyond Economics (1991) menyebutkan, percepatan sistem moneter meningkatkan ketidakpastian, indeterminasi, dan turbulensi ekonomi, yang rentan terhadap risiko krisis, kemacetan, bahkan kehancuran.

Oleh : Anna Gustiana/Khusus 7/Manajemen.

Anonim mengatakan...

Nama: Tonny Rahmat
semster: VII (tujuh)
kelas: khusus/manajemen/stie muhammadiyah
latar belakang krisis :

Bencana
keuangan tengah melanda negara super power Amerika Serikat. Beberapa bank
raksasa kelas dunia yang telah menggurita ke berbagai penjuru dunia rontok.
Dimulai
dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan finansial raksasa
Bear Stearns.Beberapa saat sebelumnya,pemerintah Amerika terpaksa
mengambil alih perusahaan mortgage terbesar di Amerika; Freddie Mac dan Fannie
Mae Sementara Merrill Lynch mengalami kondisi tak jauh beda hingga harus
diakuisisi oleh Bank of America. Terakhir perusahaan asuransi terbesar AIG
(American International Group) menunjukkan gejala kritis yang sama.
Untuk mengatasi badai krisis yang hebat itu dan
menyelamatkan bank-bank raksasa yang terpuruk, pemerintah Amerika Serikat
terpaksa melakukan bailout sebesar
700 milyar dolar sampai 1 triliun US dolar. Intervensi negara Amerika terhadap
sektor
keuangan di negeri Paman Sam itu merupakan kebijakan yang bertentangan dengan
faham pasar bebas
(kapitalisme) yang dianut Amerika Serikat. Nyatanya dana suntikan yang mirip
dengan BLBI itu toh, tak signifikan membendung terpaan badai krisis yang
demikian
besar. Kebijakan bailout ini, tidak
saja dilakukan pemerintah Amerika, tetapi juga bank sentral Eropa dan Asia
turun tangan menyuntikkan dana untuk mendorong likuiditas perekonomian,
sehingga diharapkan dapat mencegah efek domino dari ambruknya bank-bank
investasi kelas dunia tersebut.
Beberapa
saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia
mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa
bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di
Amerika Serikat segera memicu gelombang
kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia
segera mengalami panic selling yang
mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham
di mana-mana terjun bebas ke jurang yang
dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk
dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis
masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar
modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga
mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%.
Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41%
(sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara
pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga
komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai
bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS,
bursa saham Wall Street terus melorot.Dow Jones sebagai episentrum pasar modal
dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones
menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah
angka 10.000.
Dalam rangka ,mengantispasi krisis keuangan tersebut, tujuh bank sentral
(termasuk US
Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada)
memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku
bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar
Berdasarkan fakta dan reliata
yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat
keterpurukan yang amat dalam,dank arena
itu dapat
dikatakan bahwa krisis financial Amerika saat ini, jauh lebih parah dari pada
krisis Asia di tahun 1997-1998 yang
lalu. Dampak krisis saat ini demikian terasa mengenaskan keuangan global. Lagi
pula, sewaktu krismon Asia, setidaknya ada 'surga aman' atau 'safe heaven' bagi
para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi kini,
semua pasar modal rontok. Semua investor panic.
Karena itu,
seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa Guncangan ekonomi akibat badai
keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great
Depresion pada tahun 1930.
Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah
sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi
dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009, atau 0,9% poin lebih rendah dari
proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.
Dari
paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang
menganut laize faire dan berbasis
riba kembali tergugat. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Pemikiran
Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun adalah suatu ijtihad yang benar dan adil untuk
mewujudkan kemaslahatan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama
yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir
zaman “ The end of history “ (Magazine National Interest ,1989). Tesis
Fukuyama sudah usang dan nasakh (tidak berlaku), karena sistem ekonomi
kapitalisme
telah gagal menciptakan tata ekonomi yang berkeadilan dan stabil.
Sebenarnya,
sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi
kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism,
Socialism and Democracy menyebutkan
bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama
dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell
dan Irving Kristol dalam buku The
Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional
Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic
Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The
Poverty Curtain : Choices for the Third
World.
Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari
sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada
pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Karena itu,
kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem
ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara
komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru
tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut
dilakukan dengan analisis
objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang
jernih dan pendekatan yang segar dan
komprehensif.
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi
terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia
tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama
sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat
inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat
pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta
fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi
perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami
penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa
termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena
adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan
sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa
negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger
mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa
"Tidak
satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu
menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving
the World Economy").
Melihat fenomena-fenomena
yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi
terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam
mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang
menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah
gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang
mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan
Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”.
Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter.Dalam
buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional)
dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak,
merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang,
bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).
Rekonstruksi Ekonomi Syariah Sebuah Keharusan
Oleh
karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka
menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi
ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan
yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma,
sistem dan konstruksi materialisme
kapitalisme, lalu menggantinya dengan
sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan
teknologi tetap ada yang
bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa
digunakan, seperti alat-alat
analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif,
paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian
moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi
pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis
demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin
merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba
dan mata uang kertas semakin hegemonis
KOMENTAR DARI ARTIKEL:
menurut pendapat saya awal dari kasus ini bahwa tidak semua sistem kapitalism itu menguntungkan perekonomian AS itu sendiri. Dan itu membuktikan bahwa sistem yang selama ini dijadikan pijakan para pengaggum kapitalis hanya omong kosong belaka..itu hanya pendapat saya.
Tiada gading yang tak retak dan yang retak tetap hanyalah gading kecuali Gading Martin (punten pak becanda)

Anonim mengatakan...

Nama: Tonny Rahmat
semster: VII (tujuh)
kelas: khusus/manajemen/stie muhammadiyah
latar belakang krisis :

Bencana
keuangan tengah melanda negara super power Amerika Serikat. Beberapa bank
raksasa kelas dunia yang telah menggurita ke berbagai penjuru dunia rontok.
Dimulai
dari bangkrutnya bank raksasa Lehman Brothers dan perusahaan finansial raksasa
Bear Stearns.Beberapa saat sebelumnya,pemerintah Amerika terpaksa
mengambil alih perusahaan mortgage terbesar di Amerika; Freddie Mac dan Fannie
Mae Sementara Merrill Lynch mengalami kondisi tak jauh beda hingga harus
diakuisisi oleh Bank of America. Terakhir perusahaan asuransi terbesar AIG
(American International Group) menunjukkan gejala kritis yang sama.
Untuk mengatasi badai krisis yang hebat itu dan
menyelamatkan bank-bank raksasa yang terpuruk, pemerintah Amerika Serikat
terpaksa melakukan bailout sebesar
700 milyar dolar sampai 1 triliun US dolar. Intervensi negara Amerika terhadap
sektor
keuangan di negeri Paman Sam itu merupakan kebijakan yang bertentangan dengan
faham pasar bebas
(kapitalisme) yang dianut Amerika Serikat. Nyatanya dana suntikan yang mirip
dengan BLBI itu toh, tak signifikan membendung terpaan badai krisis yang
demikian
besar. Kebijakan bailout ini, tidak
saja dilakukan pemerintah Amerika, tetapi juga bank sentral Eropa dan Asia
turun tangan menyuntikkan dana untuk mendorong likuiditas perekonomian,
sehingga diharapkan dapat mencegah efek domino dari ambruknya bank-bank
investasi kelas dunia tersebut.
Beberapa
saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia
mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa
bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di
Amerika Serikat segera memicu gelombang
kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia.
Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia
segera mengalami panic selling yang
mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham
di mana-mana terjun bebas ke jurang yang
dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk
dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis
masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar
modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga
mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%.
Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41%
(sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%. Sementara
pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga
komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai
bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.
Di AS,
bursa saham Wall Street terus melorot.Dow Jones sebagai episentrum pasar modal
dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones
menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah
angka 10.000.
Dalam rangka ,mengantispasi krisis keuangan tersebut, tujuh bank sentral
(termasuk US
Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada)
memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku
bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar
Berdasarkan fakta dan reliata
yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat
keterpurukan yang amat dalam,dank arena
itu dapat
dikatakan bahwa krisis financial Amerika saat ini, jauh lebih parah dari pada
krisis Asia di tahun 1997-1998 yang
lalu. Dampak krisis saat ini demikian terasa mengenaskan keuangan global. Lagi
pula, sewaktu krismon Asia, setidaknya ada 'surga aman' atau 'safe heaven' bagi
para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang, tetapi kini,
semua pasar modal rontok. Semua investor panic.
Karena itu,
seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa Guncangan ekonomi akibat badai
keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great
Depresion pada tahun 1930.
Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah
sejak era 1930-an. Hal itu diperkirakan akan menggerus pertumbuhan ekonomi
dunia melambat menjadi 3% pada tahun 2009, atau 0,9% poin lebih rendah dari
proyeksi World Economic Outlook pada Juli 2009.
Dari
paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang
menganut laize faire dan berbasis
riba kembali tergugat. Faham neoliberalisme tidak bisa dipertahankan. Pemikiran
Ibnu Taymiyah dan Ibnu Khaldun adalah suatu ijtihad yang benar dan adil untuk
mewujudkan kemaslahatan ekonomi masyarakat.
Dengan demikian sangat keliru apa yang dilakukan Fukuyama
yang mendeklarasikan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir
zaman “ The end of history “ (Magazine National Interest ,1989). Tesis
Fukuyama sudah usang dan nasakh (tidak berlaku), karena sistem ekonomi
kapitalisme
telah gagal menciptakan tata ekonomi yang berkeadilan dan stabil.
Sebenarnya,
sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi
kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism,
Socialism and Democracy menyebutkan
bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama
dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell
dan Irving Kristol dalam buku The
Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional
Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic
Theory and the Underdeveloped Countries serta Mahbubul Haq dalam buku The
Poverty Curtain : Choices for the Third
World.
Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari
sistem yang diterapkan kapitalis cenderung pada
pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.
Karena itu,
kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem
ekonomi ”baru” yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara
komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru
tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut
dilakukan dengan analisis
objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang
jernih dan pendekatan yang segar dan
komprehensif.
Di bawah dominasi kapitalisme, kerusakan ekonomi
terjadi di mana-mana. Dalam beberapa tahun terakhir ini, perekonomian dunia
tengah memasuki suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama
sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat
inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat
pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta
fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat.
Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi
perekonomian negara-negara berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami
penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, harga-harga barang dan jasa
termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.
Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena
adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan
sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa
negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger
mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa
"Tidak
satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu
menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving
the World Economy").
Melihat fenomena-fenomena
yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi
terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam
mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang
menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai sistem dan model ekonomi.
Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah
gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang
mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E.Stiglitz. Dia dan
Bruce Greenwald menulis buku “Toward a New Paradigm in Monetary Economics”.
Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter.Dalam
buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional)
dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak,
merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang,
bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).
Rekonstruksi Ekonomi Syariah Sebuah Keharusan
Oleh
karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka
menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi
ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan
yang disebut dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma,
sistem dan konstruksi materialisme
kapitalisme, lalu menggantinya dengan
sistem dan paradigma syari’ah. Capaian-capaian positif di bidang sains dan
teknologi tetap ada yang
bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa
digunakan, seperti alat-alat
analisis matamatis dan ekonometrik,.dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif,
paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian
moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi
pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis
demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin
merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba
dan mata uang kertas semakin hegemonis
KOMENTAR DARI ARTIKEL:
menurut pendapat saya awal dari kasus ini bahwa tidak semua sistem kapitalism itu menguntungkan perekonomian AS itu sendiri. Dan itu membuktikan bahwa sistem yang selama ini dijadikan pijakan para pengaggum kapitalis hanya omong kosong belaka..itu hanya pendapat saya.
Tiada gading yang tak retak dan yang retak tetap hanyalah gading kecuali Gading Martin (punten pak becanda)

Anonim mengatakan...

KONSEP ECONOMIC INTELLIGENCE (EI)

Berakhirnya perang dingin di abad 20 telah menyebabkan adanya perubahan mendasar dalam definisi keamanan nasional. Saat ini keamanan nasional suatu negara lebih banyak dilihat dalam aspek kekuatan ekonomi daripada kapabilitas militernya. Lebih jauh lagi, tantangan terhadap perekonomian negara timbul seiring dengan semakin kuatnya paradigma �globalisasi�. Dalam ekonomi global tidak ada lagi perbedaan atau jarak dalam hubungan ekonomi domestik dan internasional.Dengan semakin cepatnya perputaran roda persaingan dalam lingkup nasional maupun internasional, proses inovasi dan peningkatan daya saing perlu dipercepat pula.


Pertanyaan mendasar adalah: Dapatkah suatu proses inovasi dan peningkatan daya saing usaha yang biasanya memakan waktu 2 tahun dapat dipercepat menjadi 2 bulan?
Untuk menjawab pertanyaan itu, dibutuhkan suatu terobosan yang dapat mengantarkan kita kepada percepatan untuk melakukan inovasi, terobosan tersebut dimungkinkan dengan kata kunci yang disebut dengan Economic Intelligence. Economic Intelligence (EI) atau intelijen ekonomi masih merupakan bidang baru di Indonesia pada umumnya, kendatipun riaknya sudah mulai terasa dan dikembangkan oleh beberapa institusi baik swasta maupun pemerintah, saya yakin dalam beberapa tahun mendatang Economic Intelligence di Indonesia akan semakin dirasakan penting/strategis bahkan dapat dianggap sebagai tools andalan yang harus menjadi bagian dari strategi bisnis suatu institusi (profit maupun non profit organization, swasta maupun pemerintah) bahkan untuk pelaku -pelaku individu.
Dalam skala global, saat ini term EI muncul seiring dengan perkembangan teknologi informasi (seperti revolusi Internet, database komersial international, datamining, bibliometri, searching engine, knowledge management, �) yang tak terelakkan. Kendatipun sebenarnya EI merupakan praktik lama, yaitu semenjak adanya persaingan/kompetisi dalam menentukan berbagai strategi untuk pencapaian tujuan, bahkan jauh sebelum revolusi IT seperti saat ini.


Belakangan ini EI merupakan senjata dalam kancah perang ekonomi (meliputi bisnis, industri, teknologi, perbankan dan sebagainya) yang dilakukan oleh para pelaku bisnis maupun dalam skup kenegaraan bahkan dalam skup multilateral countries seperti di Eropa (ex. Centre de Veille yang berpusat di Luxembourg dan Knowledge Management Centre di Belgia) dan Amerika Latin (ex. Inter American Development Banks).

(Abdullah Sumantri/MANAJEMEN/SEMESTER 7/KELAS KHUSUS)

Anonim mengatakan...

NAMA : Yuiliar Ruhuddin Fadillah
PROGRAM STUDY : Manajemen
SEMERTER : VII
MATA KULIAH : Kebijakan Fiskal dan Ekonomi Moneter
DOSEN : Abin Suarsa SE.MM

Referensi dari Koran replubika terbitan hari Selasa 21 Oktober 2008
Latar belakang terjadinya krisis ekonomi global
Banyak para pakar ekonomi menyebutkan bahwa krisis ekonomi global berawal dari krisis finansial di Amerika Serikat (AS) saat ini. Faktanya, krisis tersebut memang melanda industri keuangan di AS, baik itu pasar modal, perbankan, dan lembaga keuangan lainnya. Namun, pendapat ini terkesan menafikan problem fundamental ekonomi yang dihadapi AS. Penulis melihat awalnya memang krisis di AS adalah krisis finansial. namun demikian, sesungguhnya fundamental ekonomi AS juga rapuh.

Tekanan defisit ganda (twin deficit), yaitu deficit fiscal maupun defisit fiscal dan deficit transaksi berjalan (current account) sejak 2002 (selama pemerintahan george walker bush), dan juga persoalan ekonomi lainnya telah menyebabkan kepercayaan pelaku pasar keuangan terhadap kemampuan pemerintah untuk membalikan prospek perekonomian agar dapat pulih dari krisis keuangan, merosot. Terlebih lagi secara politik pemerintahan presidan bush sesungguhnya hampir kehilangan legitimasi, mengingat usia pemerintahannya yang tidak lama lagi. Kombinasi masalah ekonomi dan politik inilah yang memperparah krisis finansial AS.

Dengan kata lain, krisis finansial yang memburuk di AS saat ini merupakan refleksi dari persoalan fundamental ekonomi dan politik disana. Tidak mengherankan bila krisis keuangan di AS saat ini secara politik menguntungkan calon presidan partai democrat, Barack Obama, karena dianggap sebagai representasi kepentingan para pembaharu di AS.

Berawal dari krisis finansial
Penulis mencermati sesungguhnya proses pendalaman krisis finansial di AS saat ini mirip dengan krisis yang dialami Indonesia di era 1997/1998, yaitu diawali dengan krisis moneter akibat efek penularan krisis di Thailand. Namun karena secara fundamental ekonomi waktu itu Indonesia memiliki masalah (meski tak diakui pemerintah IMF, Bank Dunia) serta krisis kepercayaan terhadap pemerintah ketika itu, krisis moneter itupun berkembang secara cepat menjadi krisis ekonomi dan sosial politik.

Krisis financial yang terjadi di AS saat ini tanda-tandanya telah ada sejak pertengahan 2006. waktu itu telah teridentifikasi bahwa subfrime mortgage yang merupakan kredit kepemilikan rumah (KPR) bagi warga AS yang kurang layak akan mengalami default. Dua pertiga debitur KPR memang berhak memperoleh kredit (prime consumer) dengan suku bunga tetap. Selebihnya, merupakan kredit dengan kualitas lebih rendah, yakni kelompok KPR Alt-As dan KPR subfrime dengan tingkat suku bunga dua persen sampai tiga persen diatas KPR lainnya.

Bisnis KPR subfrime sangat mengiurkan dan ekpansif. KPR jenis ini tercatat 605 miliar dolar AS di tahun 2006 (10 persen dari total KPR), atau tumbuh hampir lima kali lipat dari tahun 2001. booming KPR ini juga terjadi karena ditopang oleh tingkat suku bunga perbankan yang pada kurun waktu 2001-2005 memang cukup rendah, sehingga mendorong warga subfrime untuk mengajukan KPR dan perbankanpun berkepentingan menambah nasabah untuk meningkatkan pendapatannya. Bahwa subfrime customer memiliki resiko default yang tinggi. Hal tersebut kurang menjadi pertimbangan. Pada akhirnya bank mengalihkan resiko itu dalam bentuk CDO yang dijual kepada investor di pasar keuangan. Terlebih lagi, resiko default nasabah KPR subfrime selama ini tertutupi oleh harga rumah yang memang terus naik sejak 1987.

Namun bencana KPR subfrime mulai terjadi ketika pada pertengahan 2005 tingkat suku bunga melonjak yang menyebabkan nasabah KPR subfrime mengalami default. Mengingat bahwa KPR subfrime mortgage juga diperdagangkan melalui penerbitan instrument derivatifnya (CDO, MBS, dan lainya) di pasar modal, kasus default itu juga merontokan pasar keuangan di AS dan juga dunia yang memiliki intrumen derivative CDO dan MBS dari KPSR subfrime mortgage tersebut. Sejak itulah dimulai episode kejatuhan investasi di AS dan eropa yang kebetulan memegang instrument derivative tersebut.

Ekonomi AS ikut memburuk
Pada pertengahan 2007, otoritas di AS telah mengambil sejumlah langkah untuk menyelamatkan sektor keuangan AS. The fed, misalnya, sejak medio 2007 telah menurunkan tingkat suku bunganya. Tujuannya untuk menolong agar pemilik KPR subfrime dapat melakukan pembayaran kreditnya serta mendorong likuiditas perekonomian. Tapi sayangnya, langkah itu tidak mampu menolong pasar keuangan AS. Sebab, di saat yang sama, perekonomian AS juga memiliki problem akut buruknya kinerja perekonomian.

AS memiliki masalah terkait deficit fiscal. Pada 2008 ini, diproyeksikan deficit fiscal AS akan mencapai tiga persen, dan hingga September 2008 ini telah mencapai 455 miliar dolar AS. Selama pemerintahan bush, deficit fiscal AS memang tinggai akibat besarnya biaya perang Irak dan Afganistan. Berdasarkan data, pemerintahan AS telah mengeluarkan sekitar 650 miliar dolar AS untuk membiayai perang di Irak dan Afganistan. Bahkan, Stiglitz (2008) menghitung biaya kedua perang itu akan membengkak menjadi lebih dari tiga triliun dolar As. Di sisi lain, AS juga menghadapi tingginya deficit neraca transaksi berjalan (current Account). Kombinasi deficit inilah yang menyebutkan AS mengalami deficit ganda (twin deficit).

Sayangnya, tinggi deficit fiscal tersebut tidak berimbas kepada pertumbuhan ekonomi. Setelah mencapai pertumbuhan 3,6 persen pada 2004, pertumbuhan ekonomi AS menurun dan pada 2008 ini diperkirakan hanya 1,5 persen. Implikasinya, angka pengangguran di As terus merambat naik. Kondisi inilah yang menyebabkan berbagai langkah kebijakan di bidang keuangan menjadi kurang berarti untuk menumbuhkan keprcayaan pelaku pasar.

Indeks kepercayaan bisnis (US bisness confidence index) pun terus merosot dalam beberapa tahun terakhir ini. Kejatuhan industri keuangan pun terus berlangsung. Saat ini kerugian yang di akibatkan subfrime mortgage telah mencapai 650 miliar dolar AS. IMF bahkan memperkirakan kerugian itu dapat bertambah hingga satu triliun dolar AS.

Untuk mencegah kebangkrutan lebih lanjut, otoritas AS pun mem-bail out sejumlah lembaga keuangan. Pada Maret 2008, the fed telah mengucurkan dana sekitar 28,8 miliar dolar As kepada berbagai institusi keuangan, morgan Stanley dan Goldman Sachs Group Inc. Pada Oktober 2008 ini Kongres AS telah menyetujui penyediaan dana sebesar 700 miliar dolar AS guna menyehatkan sector keuangan yang sakit. Namun, bail out tersebut dinilai tidak akan banyak menolong sector keuangan AS.

Nouriel Roubini, ekonom dari new york University mengatakan bahwa krisis financial di AS masih akan memakan korban ratusan bank lagi di AS dan diperkirakan akan menelan kerugian akibat kredit macet sekitar dua triliun dolar AS (Bloomberg, 8 September 2008).



Pelajaran dan antisipasi untuk Indonesia
Seperti penulis kemukakan diatas, proses pendalaman krisis finnasial di AS ini mirip dengan krisis ekonomi di Indonesia pada 1997/1998. itu berarti, kita sesungguhnya memiliki pengalaman bagaimana mengelola agar krisis di AS ini tidak berdampak buruk. Bila isu contagion effect ini tidak segera direspon, bisa jadi akan memicu dampak yang lebih besar bagi ekonomi kita, terlebih lagi, bila kepentingan politik ikut bermain dengan memanfaatkan situasi ini. Pemerintah, tampaknya sangat menyadari hal itu.

Oleh karenanya, pemerintah berupaya melokalisasi agar krisis keuangan di AS yang telah berpengaruh pada sector keuangan kita (khususnya pasar modal) tidak berdampak pada perekonomian secara keseluruhan. Langkah ini penting, karena bila kita terlambat atau tidak cepat melokalisasi krisis keuangan ini, bisa jadi kita mengalami proses pendalaman krisis seperti di AS atau seperti krisis ekonomi kita pada tahun 1997/1998.

Perlu disadari bahwa kita tidak bisa mencegah krisis keuangan di AS ini untuk tidak berimbas kepada dalam negri. Sebab faktanya, sejauh ini mungkin hanya Negara-negara di timur tengah yang tidak begitu terpengaruh oleh krisis financial di AS.

Pasar modal kita terbukti terkena crash. Penulis berpendapat, menghadapi crash di pasar modal tidak perlu harus all out me-rescue-nya agar cepat bangkit. Sebab secara fundamental, tidak ada alas an bagi pelaku pasar membanting harga diatas produk investasi yang dipegangnya. Yang terpenting bagaimana memperkuat sector riil kita yang kemungkinan akan mengalami kesulitan menakses pendanaan sehubungan jatuhnya pasar modal. Oleh karena itu, beberapa upaya yang telah diambil pemerintah dan bank Indonesia (BI) untuk memperkuat kinerja sector perbankan belakangan ini adalah langkah tepat.

Pemerintah, melalui lembaga penjaminan simpanan (LPS), telah meningkatkan jumlah jaminan dana nasabah dari Rp 100 juta menjadi 2 miliar. Pemerintah juga meminta DPR menyetujui UU atau perpu jarring pengaman sector keuangan. BI juga telah melonggarkan likuditas dengan diturunkannya giro wajib minimum (GWW) perbankan dan juga melonggarkan likuiditas valas di pasar. Tentunya, langkah-langkah ini masih perlu dikembangkan lagi untuk menjamin bahwa likuiditas perbankan mampu menopang gerak ekonomi sector riil. Pelonggaran fiscal melalui percepatan pencairan anggaran juga perlu ditingkatkan dengan tetap memperhatikan efektivitasnya.

Pengelolaan pembiayaan deficit APBN (khususnya penerbitan surat utang Negara) juga perlu dijaga harmonisasinya agar tidak terjadi crowding effect atau seolah telah terjadi perebutan dana masyarakat anatara pemerintah dengan perbankan. Tak kalah penting adalah mengoptimalkan kekuatan ekonomi local. Fakta menunjukan bahwa ketika krisis financial di AS terjadi sejak tahun lalu, justru ekonomi kita mampu tumbuh tinggi berkat dukungan sector ekonomi domestic, khususnya konsumsi masyarakat.

Semoga perekonomian Indonesia tahun ini dan tahun 2009 tetap tumbuh serta tidak terpengaruh secara signifikan akibat krisis ekonomi global ini. Yang terpenting kita harus waspada, tetap berfikir jernih, tidak panic dalam menghadapi situasi.

Anonim mengatakan...

Nama : Diana. Midayaningsih
N I M : 260
Kls / smtr : C- 5
Jurusan : Manajemen
Mata Kuliah : Kebjakan fiyskal dan Moneter
Dosen : Abin Suarsa,

‘’CEGAH KRISIS”
Krisis Keuangan yang sedang terjadi saat ini menjadi paradigma sistem ekonomi yang terulang , perlu melakukan pembedahan hingga mendasar. Penerapan sistem tidak bisa dilakukan secara radikal dan mendadak, namun secara bertahap.” Penerapannya harus secara mendasar dan membedah satu per satu semua paradigma dasar sistem perekonomian dan keuangan.
Penerapan sistem keuangan dapat dilakukan dengan tabungan, meyakini prospek bank akan jauh lebih baik. Pasalny a saat ini Bank Indonesia sudah mendukung kondisi tersebut didukung oleh mayoritas penduduk indonesia .
Semakin cerahnya prospek keuangan diperkirakan karena investor akan mulai kehilangan tempat investasinya
Timur Tengah , Eropah dan Amerika Serikat saat krisis keuangan global terjadi menjadi pelajaran berharga bagi pelaku pasar.
Sistem keuangan dan pasar modal menghadapi krisis “ Jumlah dana ekuitas tumbuh 12 sampai 14 persen “. Pertumbuhan tersebut disebabkan oleh adanya kontibush high net –worth investor atau institusi. Dana ekuitas tersebut akan terus tumbuh melebihi 26 miliar dolar AS. Gejolak sistem keuangan global yang diciptakan oleh sistem keuangan kapitalis.

darti mengatakan...

Reaksi krisis kredit propertipun merupakan salah satu penyebab terjadinya krisis global.Kubangan hutang semakin melebar, namun penghutangnya tidak mau bayar.Akibatnya bank dan institusi terbesar di Amerika Bangkrut/nyaris bangkrut.
Sejumlah institusi keuangan telah memperkirakan kerugian akibat kredit properti tersebutt untuk di Amerika saja sudah mencapai 300 miliar dolas AS.Sejumlah negara khususnya negara kaya mulai mengelontarkan dana miliaran dolar ke pasar modal untuk memback up likuiditas agar bisa menggerakkan aktivitas ini,bahkan sebgian ada yang melakukan intervensi langsung sampai pada level menasionalisasi sebagian bank,sebagaimana yang terjadi di Inggris.
Di negeri kita ini pun dampak krisis global dapat terlihat dengan ikut turun naiknya harga BBM guna menyesuikan harga minyak dunia,serta terlihat dibeberapa perusahaan yang ada di Indonesia yang ikut goncang dikarenakan daya beli konsumen yang terkena imbas krisis global menurun.

Anonim mengatakan...

Yusuf Ardhianto
Semester 1
Kelas Karyawan

Latar belakang terjadi krisis global pd awal 2009 adanya agresi militer oleh tentara Zionis Israel ke Palestina, utk memperebutkan wilayah kekuasaan di jalur Gaza. Terutama daerah sekitarnya,yaitu timur tengah. Yang mana mereka adalah negara kaya minyak (spt UEA,Arab Saudi,Yaman,Oman dll),jika terpengaruh maka harga minyak mentah dunia akan jatuh, maka kondisi ekonomi gloabl akan jatuh juga.

Anonim mengatakan...

dampakbagi indonesia, dimana pengelolaan SDA yg masih tidak atau belum profesional sendiri dan masih bergantung kpd asing.
sebenarnya dg naiknya harga minyak bumi akan memberikan keuntungan jg bagi pendapatan negara namun disisi lain juga akan memberikan kerugian krn pengadaan BBM masih mengandalkan "import".
ada sumber lain yg juga memberikan dampak keuntungan yaitu minyak kelapa sawit yg akan naik terus mengikuti minyak bumi. dampak dari kenaikan ini adl semakin tingginya harga jual minyak sayur dlm negeri. ujung2nya pemerintah harus memberi subsidi lagi.
tambang mas masih dikuasai asing padahal menjadi salah satu juga pilar perekonomian dunia. hasil laut masih belum dikelola dengan maksimal sehingga hasil laut lebih banyak dicuri oleh negara lain. agraria, seharusnya indonesia bisa lebih maju dari Thailand dalam bisnis ini. sayangnya pengelolaan lahan yg "seolah terabaikan" menunjukkan belum adanya "profesionalisme" pemerintah untuk mengelola hasil hutan dan lahan2 yg sudah gundul.
indusri, masih belum bisa bersaing dg jiran2 sesama asean
( MAEMUNAH / 5C Khusus / Manajemen )

Anonim mengatakan...

http://lumerkoz.edu Punk not dead http://soundcloud.com/amaryl highfield persuades http://barborazychova.com/members/Buy-Lexapro.aspx wray evoked http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-prilosec falklands http://www.lovespeaks.org/profiles/blogs/buy-metronidazole reptiles patta http://www.comicspace.com/adalat/ trondheim tenacious